Lari dari Tuhan (5 - End)
“Datanglah firman TUHAN kepada Yunus untuk kedua kalinya, demikian:
"Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu."
Sekali ini tidak ada alasan bagiku untuk tidak melakukannya. Sekeras apapun aku mencoba untuk lari, tidak akan mungkin bisa. Tuhanku itu cukup keras kepala juga rupanya. Kemauan-Nya harus terlaksana dan tidak ada kata “tidak” dalam kamusnya (sepertinya). Akupun bersiap-siap berangkat ke Niniwe dan hendak mewartakan pesan-Nya tersebut.
Perjalanan ke Niniwe memakan waktu satu hari. Niniwe sebuah kota yang besar, sangat besar. Luasnya mencapai tiga hari perjalanan. Benteng kota itupun sangat kokoh, sekokoh tembok kotanya. Para tentara mereka sangat gagah dan pantang menyerah. Benar-benar tipe pejuang sejati, kupikir. Setiap sudut kota terlihat pos-pos penjagaan lengkap dengan persenjataan yang dahsyat. Para penjaga selalu terlihat berpatroli tanpa kenal lelah.
“Huh, sayang sekali ini bukan milik Israel.” Pikirku saat itu.
“Ah, sudahlah. Bukan urusanku juga. Sebaiknya aku segera masuk ke dalam kota, mengatakan pesan-Nya kepada penduduk kota itu dan rajanya, setelah itu keluar dari sana.” Lanjutku kemudian.
Akupun melangkahkan kaki memasuki kota berkubu yang luas itu. Tujuanku adalah alun-alun kota, dimana banyak orang berkumpul di sana tiap-tiap harinya. Ya, akupun bergegas ke alun-alun kota. Di sana ada sebuah lapangan dan menjadi pusat keramaian setiap harinya. Ada sebuah podium di tengah-tengahnya. Aku tidak tahu untuk apa, tetapi aku pikir mungkin untuk memberikan pengumuman. Akupun naik ke atas podium dan berseru kepada mereka:
"Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan."
Orang-orang yang mendengarnya terlihat sangat kaget. Mereka tampak gelisah dan khawatir. Hmm, sepertinya mereka tidak menyangka bahwa akan ada pesan yang sedemikian mengerikannya untuk didengarkan. Akupun berjalan keluar dari kota itu. Aku tidak mau berlama-lama di dalam kota laknat itu. Biarlah Tuhan melakukan kehendak-Nya itu.
Kepanikan segera menyebar ke setiap pelosok kota. Mereka benar-benar mempercayai pesan yang kusampaikan sebagai peringatan-Nya untuk mereka. Berita kengerian tersebut segera tersebar dengan cepat. Semua penduduk kota meratap, dan menyatakan perkabungan. Mereka bahkan berpuasa dan memohon belas kasihan Tuhan. Bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak melakukannya. Mereka bertobat, ya, mereka benar-benar bertobat saat itu.
“Ampuni kami, Tuhan...”
“Jangan timpakan kemalangan dan kehancuran pada kami...”
“Kasihanilah kami ini, Tuhan...”
Begitulah kira-kira seruan ratapan mereka.
Kabar tersebut ternyata sampai juga ke telinga raja Niniwe. Bahkan diluar dugaanku, sang raja pun ikut-ikutan berpuasa dan berkabung. Raja turun dari singgasananya, menanggalkan jubah kebesarannya dan mengenakan kain kabung. Selanjutnya, raja memerintahkan kepada para pembesarnya untuk menurunkan perintah yang harus dijalankan semua penduduk kota itu tanpa terkecuali, demikian:
"Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air.
Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya.
Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa."
Ya, itulah titahnya. Bukan hanya manusia, tetapi ternakpun dimintanya berpuasa dan berkabung. Mereka serentak memaklumkan puasa dan perkabungan raya. Mereka benar-benar merendahkan diri mereka di bawah tangan Tuhan. Jujur, belum pernah kulihat yang seperti ini di kalangan orang-orang Israel. Akupun membayangkan jikalau Israel yang melakukannya, Tuhan pastilah akan sangat senang dan bersukacita dibuatnya.
“Ah, seandainya Israel seperti mereka.” Pikirku saat itu.
“Mengapa harus Niniwe yang memiliki hati seperti itu?”
“Mengapa bukan Israel yang memiliki hati seperti mereka?”
“Mengapa Israel harus menjadi bangsa yang bebal dan tegar tengkuk?”
“Benar-benar tidak dapat kupercaya.” Gumamku dalam hati.
Hatiku sangat sakit memikirkan hal tersebut. Bangsa yang tidak mengenal Tuhan, bersikap melebihi bangsa yang menjadi umat kesayangan-Nya. Benar-benar sebuah ironi.
***
“Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya."
Akupun merasa penasaran dengan apa yang akan diperbuat-Nya terhadap Niniwe. Akupun memutuskan mendirikan pondokan di sisi timur di luar tembok kota itu, setelah aku keluar dari kota itu. Akupun menunggu dan menunggu. Aku ingin melihat kehancuran Niniwe dengan mata kepalaku sendiri. Tiap-tiap hari aku duduk bernaung di pondokan yang kudirikan sambil memandangi kota itu. Seminggu berlalu, dua minggu berlalu, tiga minggu berlalu, sampai genap waktunya 40 hari berlalu, aku menantikannya dengan sabar, tetapi seperti yang sudah kuduga, Tuhan tidak jadi melaksanakan niatnya.
Betapa kesalnya hatiku saat itu. Aku sudah tahu hal ini akan terjadi, karena itu aku lari pada waktu itu dari hadapan-Nya. Aku tidak mau mengabarkan pesan-Nya kepada Niniwe juga karena hal ini. Tuhan tidak jadi menghancurkan Niniwe. Ya, Dia tidak jadi menghancurkannya. Aku marah, benar-benar marah. Akupun berseru kepada-Nya, memprotes tindakan-Nya itu. Dia benar-benar membuatku kecewa.
"Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya.
Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup."
Benar-benar tidak dapat kumengerti. Bagaimana mungkin Dia bisa merasa sayang terhadap kota laknat itu? Terbesit rasa malu juga di hatiku. Penduduk kota itu pastilah merasa menang saat ini. Mereka pasti mencibirku juga saat ini. Mereka pasti memperolokku juga sebagai penyampai berita bohong. Tuhan benar-benar membuatku gila. Sungguh, aku merasa kesal. Dia bisa dengan seenaknya melakukan ini dan itu, dan dengan seenaknya membatalkan recana-Nya. Apa yang Dia pikirkan sebenarnya?
“Arrggghhh, ingin mati aku rasanya...” umpatku dalam hati.
“Benar-benar tidak bisa dipercaya!!” umpatku selanjutnya.
Akupun memutuskan untuk berdiam diri dari Dia. Aku tidak akan menemui-Nya lagi. Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan-Nya.
Beberapa hari aku mendiamkan-Nya. Aku benar-benar tidak menyapa atau menemui-Nya, seperti yang biasanya aku lakukan. Sampai pada hari itu, sebuah pohon jarak tumbuh. Pohon itu tumbuh sebagai pohon yang besar dan rindang. Betapa senangnya hatiku saat itu. Aku bisa bernaung dibawahnya, terhindar dari teriknya sinar matahari. Aku sayang terhadap pohon jarak itu dan berniat untuk merawatnya.
Tetapi, apa lacur, dalam waktu semalam, pohon itupun mati. Ulat penggerek menggerek pohon itu, sampai akhirnya layu dan mati. Segera setelah itu, terik matahari serasa membakar kepalaku. Sekali lagi aku marah kepada-Nya. Apa yang kuharapkan saat itu hanyalah kematian. Dia benar-benar membuatku kesal. Apakah Dia tidak tahu bahwa rasa kesalku ini belum sirna?
“Aku mau mati saja!!!” teriakku meracau.
“Aku tidak ingin hidup, ambil saja nyawaku, Tuhaannn!!!” teriakku lagi.
Akupun menangis. Hatiku benar-benar sakit sesakit-sakitnya.
“Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?” suara-Nya yang lembut tiba-tiba menyapaku.
“Ya, sudah selayaknya aku marah sampai mati!!” kataku dengan penuh kemarahan.
"Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula.” Jawab-Nya kepadaku.
“Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?" lanjutnya kemudian.
Akupun mulai berpikir. Yah, layakkah aku marah? Aku marah karena pohon jarak itu dan aku sayang pohon jarak itu, walaupun aku tidak bersusah payah mengupayakannya. Aku tahu sekarang bagaimana perasaan-Nya terhadap Niniwe. Aku mengerti akan isi hati-Nya terhadap bangsa-bangsa di dunia saat ini. Dia sayang kepada mereka semua. Dia ingin semuanya selamat. Dia benar-benar tidak memandang rupa, ras, warna kulit atau apapun itu. Apa yang Dia lihat dari manusia adalah hatinya. Ya, hatinya!! Itulah yang Dia lihat. Dia memandang setiap hati. Hati yang mengharapkan-Nya dengan tulus.
© Mitra Trisandhya, 08-Nopember-2010
- S.E.L.E.S.A.I -
Komentar
Posting Komentar
All comments will be moderated (more than 14 days old, since I get plenty of spams on it. As long as you keep on the topics, I will publish your comment. Please be patience.